PELANGI UNTUK WANITA KELABU
Malam yang gelap ini, tengoklah kilatan cahaya yang tersembunyi di antara ranting pohon Jambu. Akan nampak lilin-lilin bergoyang di balik jeruji-jeruji jendela tua. Rumah gaya Belanda suram itu milik Wanita Kelabu. Tak ada nada di sana, tak ada cicak bernyanyi, lalat menari, apalagi kucing garong. Mungkin semua enggan dengan Wanita Kelabu, seperti penduduk Dukuh yang sepuluh tahun ini menjadikannya anak tiri perkampungan. Ia terasing dalam kerumunan rumah penduduk yang ramai.
Kisah ini akan berakhir, malam telah minggat dan pagi berlari membawa matahari. Wanita Kelabu berjemur di serambi. Menikmati mentari berhias wajah yang tetap tanpa ekspresi. Tiba-tiba datanglah Gadis Berkerundung Merah. Ia berlari membawa senampan kue Apem hangat.Malam yang gelap ini, tengoklah kilatan cahaya yang tersembunyi di antara ranting pohon Jambu. Akan nampak lilin-lilin bergoyang di balik jeruji-jeruji jendela tua. Rumah gaya Belanda suram itu milik Wanita Kelabu. Tak ada nada di sana, tak ada cicak bernyanyi, lalat menari, apalagi kucing garong. Mungkin semua enggan dengan Wanita Kelabu, seperti penduduk Dukuh yang sepuluh tahun ini menjadikannya anak tiri perkampungan. Ia terasing dalam kerumunan rumah penduduk yang ramai.
“Hai, Ibu Wanita Kelabu, apa yang sedang kau lakukan?” Sapa gadis berkerudung merah sambil meletakkan nampannya di atas lantai kayu berlubang. Wanita Kelabu tersentak, ia membenamkan muka di antara lututnya.
“Ibu Wanita Kelabu, apa yang Ibu lakukan?”
“Sudah, pergi sana! Pergi! Semua jahat!”
Wanita Kelabu mengerang dengan muka terbenam di cela-cela lutut. Wanita Kelabu semakin pusing dengan perputaran dunianya. Orang-orang yang mampir hanya melempar olokan.
“Ibu Wanita Kelabu, aku tidak akan mengolokmu seperti yang mereka lakukan. Percayalah.” Gadis berkerudung merah mengulurkan tangannya yang gemuk dan putih pada Wanita Kelabu.
“Tidak! Sudah pergi! Semua sama padaku, tak ada yang mereka harap bahkan peroleh dari seorang kelabu sepertiku! Bahkan waktu tak mengentaskan aku dari kesuraman masa laluku. Lalu kau, apa bisanya engkau?”
“Ibu, mari ikut aku. Aku akan membawamu bersenang-senang dan menunjukkan sesuatu.”
Wanita Kelabu meringis, wajahnya memerah padam meluapkan segala kesal. Gadis ini tak tahu adat rupanya. Mengoyak-ngoyak keyakinan orang lain tentang masa lalunya. Wanita Kelabu diam saja. Matanya tertunduk dengan sesekali melirik ke arah si Gadis.
“Ayo Ibu, ikut denganku. Aku berjanji tak akan melukaimu.”
Wanita Kelabu mengangguk, matanya mulai berbinar namun dengan seditik ragu menyambut uluran tangan si Gadis. Mereka berjalan melalui setapak yang ada di antara barisan pohon jambu. Terus berjalan hingga tak nampak dari rumah Belanda yang kelabu.
Wanita Kelabu dan Gadis berkerudung merah mengayun langkah hingga padang rumput tempat sapi-sapi digembala. Di sana angin dapat meniup hati yang membatu Wanita Kelabu.
“Kau tahu Ibu, setiap hari datanglah angin. Angin selalu dikirim Tuhan untuk menjemput kesedihan kita di waktu lampau, lalu ia meniupnya dan berlari hingga lahirlah semangat kita yang baru. Angin itu sejuk.”
“Kau tahu apa soal luka lamaku. Gadis, aku ini hanya orang kelabu yang sendirian. Luka selalu menggumuliku. Angin memang sejuk, tapi ia tak mengikis lukaku.” Hardik si Wanita.
“Tentu saja angin tidak mengikis lukamu. Karena kau tidak membantu angin mengikisnya. Percayalah pelangi itu selalu ada setelah hujan turun. Tuhan menyayangimu Ibu, buktinya dia tidak membiarkanmu mati saat seluruh keluargamu dilalap api. Kau juga masih berdiri di sini setelah semua berlari meninggalkanmu.”
Gadis Berkerudung merah mengatakannya dengan mata kristal yang menyejukkan hati Wanita Kelabu. Tuhan mengirim pelangi padanya melalui gadis kecil itu.
“Sudahlah Ibu, aku ada denganmu. Aku dan adik-adikku akan menjagamu. Kau akan kami anggap sebagai orangtua.”
Wanita kelabu tersenyum. Ini kali pertama mulut kelabunya memancarkan pelangi. Hingga tak pantas lagi orang menyebutnya kelabu, karena harapan muncul di hatinya.
Cerpen Karangan: Rewina Ika Pratiwi
Facebook: Rewina Ika Pratiwi
Facebook: Rewina Ika Pratiwi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar